Diambil dari Postin Bunda Watu pada Selasa, 11 Oktober 2011
Ketika anak sakit, apakah antibiotik selalu diperlukan? Lebih baik,
pahami dulu pemberian obat yang rasional dan sesuai dengan kebutuhan
pasien. Menurut Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed. , pola pemakaian obat yang rasional (rational use of medicine
/RUM) intinya adalah pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan
kebutuhan klinis mereka. Selain itu, pemberian obat juga disesuaikan
dengan dosis yang dibutuhkan dan dalam periode waktu tertentu, pasien
memperoleh informasi yang akurat, serta biaya yang termurah.
RUM adalah pemakaian obat yang aman dan efektif, dengan tujuan terapi
atau penanganan yang lebih baik, mengurangi efek samping, menghemat
uang (pasien, rumah sakit, negara), serta sesuai dengan etika dan
persamaan hak. Ada banyak alasan atau penyebab terjadinya pengobatan
yang tidak rasional, dari mulai membanjirnya obat dalam jumlah yang
sangat besar, aspek penegakan hukum, proses pengambilan keputusan oleh
para dokter sampai ke aspek budaya setempat.
Ketika terjadi pola pengobatan yang tidak rasional, maka semua orang
akan merugi, khususnya mereka yang sangat rentan terhadap efek samping
obat, yaitu mereka yang sangat muda (bayi dan balita) dan mereka yang
sudah lanjut usia. Celakanya, kedua kelompok inilah yang sehari-hari
terpapar pada polifarmasi yang tidak rasional, khususnya bayi dan
balita.
“Balita memang sering sakit, tetapi sakitnya balita adalah sakit
ringan yang tidak membutuhkan beragam obat. Bahkan, sakitnya ini
merupakan suatu mekanisme alamiah untuk mem-”boost ” sistem
imunnya. Kelak di usia sekitar 7 tahunan, anak sudah mulai jarang sakit
karena sistem imunnya sudah lebih kuat,” jelas Wati, panggilan dokter
yang menulis buku Bayiku Anakku; Panduan Praktis Kesehatan Anak .
Apa yang Harus Dilakukan?
Pola pengobatan yang tidak rasional bisa menimbulkan berbagai masalah
kesehatan, di antaranya kualitas terapi menurun, yang akan menyebabkan
angka kesakitan dan angka kematian meningkat, meningkatnya risiko efek
samping, biaya meningkat, dan sebagainya. Lantas, apa yang harus
dilakukan orangtua agar anaknya terhindar dari RUM? “Be a smart patient , jadilah pasien yang cerdas,” ujar Wati tegas. Caranya:
1 Prioritas : Menyadari bahwa yang paling berkepentingan akan kesehatan dan kesejahteraan diri kita dan keluarga kita adalah kita sendiri.
2 Cari Informasi : Jangan serahkan
semua urusan kesehatan ke tenaga kesehatan dan ke pemerintah. Pasien
harus proaktif mempelajari kesehatan, sehingga bisa melakukan upaya
preventif yang tepat. Dan ketika jatuh sakit sekalipun bisa tetap
rasional, karena selalu mencari informasi perihal gangguan kesehatan dan
menanganinya sesuai panduan ilmiah terkini.
3 Konsultasi : Jangan artikan kunjungan ke dokter sebagai upaya minta obat, yang harus cespleng
dan segera sembuh. Kunjungan ke dokter adalah upaya konsultasi, upaya
diskusi mencari kejelasan penyebab dan upaya meminta diagnosis. Jadi,
pasien sebaiknya menguasai kapan harus ke dokter, sehingga terhindar
dari kondisi “tamasya” mondar-mandir ke dokter atau RS/klinik.
4 Bertanya : Yang tak kalah
penting adalah bertanya. Ketika kita berkonsultasi dengan dokter,
sedikitnya ada 3 pertanyaan “wajib” yang harus diajukan, yakni:
- Kenapa (apa penyebab gangguan kesehatan yang saya alami?) Pertanyaan ini akan membimbing kita ke arah diagnosis.
- Apa yang harus saya lakukan (sebaiknya menggunakan konsep tatalaksana dan bukan konsep pengobatan, karena tidak semua gangguan kesehatan tatalaksananya harus mencakup obat).
- Kapan saya harus cemas? (konsep RUM melindungi pasien dari overtreatment , mistreatment dan juga undertreatment . Smart patient jangan diartikan sebagai antiobat, antiantibiotik, atau antidokter. Justru pasien cerdas dan pintar akan bijak, sehingga bisa membuat keputusan yang tepat.
- Kenapa (apa penyebab gangguan kesehatan yang saya alami?) Pertanyaan ini akan membimbing kita ke arah diagnosis.
- Apa yang harus saya lakukan (sebaiknya menggunakan konsep tatalaksana dan bukan konsep pengobatan, karena tidak semua gangguan kesehatan tatalaksananya harus mencakup obat).
- Kapan saya harus cemas? (konsep RUM melindungi pasien dari overtreatment , mistreatment dan juga undertreatment . Smart patient jangan diartikan sebagai antiobat, antiantibiotik, atau antidokter. Justru pasien cerdas dan pintar akan bijak, sehingga bisa membuat keputusan yang tepat.
5 Informasi obat: Ketika
konsultasi berakhir dengan penulisan secarik resep, ada dua hal inti
yang harus dilakukan. Pertama, merencanakan untuk mencari informasi
gangguan kesehatan dan tatalaksananya, dan kedua, merencanakan mencari
informasi obat di web terpercaya.
Kapan Anak Butuh Antibiotik?
“Anak butuh antibiotik apabila ia mengalami infeksi kuman jahat
(bakteri jahat) yang tidak bisa dibasmi oleh daya tahan tubuhnya,” ujar
Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed. Misalnya, ketika anak
mengalami pneumonia (meski sebagian pneumonia pada anak juga disebabkan
oleh virus), infeksi saluran kemih (ISK), infeksi telinga tengah akut
(otitis media akut atau OMA), infeksi tenggorokan karena kuman
streptokokus (biasanya mengenai anak berusia > 4 tahun dengan demam
tinggi, tanpa batuk pilek, disertai pembesaran kelenjar getah bening di
bawah rahang bawah dan ditemukan bercak putih nanah di tonsilnya), anak
besar dengan tifus (demam lebih 5 hari tanpa batuk pilek yang semakin
hari semakin tinggi, keadaan umum tampak sakit berat), atau diare dengan
tinja berdarah.
Hasto Prianggoro / bersambung
Sumber : Tabloidnova