Sabtu, 24 Maret 2012

Menjadi Pasian Cerdas 1


Diambil dari Postin Bunda Watu pada Selasa, 11 Oktober 2011

Ketika anak sakit, apakah antibiotik selalu diperlukan? Lebih baik, pahami dulu pemberian obat yang rasional dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Menurut Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed. , pola pemakaian obat yang rasional (rational use of medicine /RUM) intinya adalah pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka. Selain itu, pemberian obat juga disesuaikan dengan dosis yang dibutuhkan dan dalam periode waktu tertentu, pasien memperoleh informasi yang akurat, serta biaya yang termurah.

RUM adalah pemakaian obat yang aman dan efektif, dengan tujuan terapi atau penanganan yang lebih baik, mengurangi efek samping, menghemat uang (pasien, rumah sakit, negara), serta sesuai dengan etika dan persamaan hak. Ada banyak alasan atau penyebab terjadinya pengobatan yang tidak rasional, dari mulai membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar, aspek penegakan hukum, proses pengambilan keputusan oleh para dokter sampai ke aspek budaya setempat.

Ketika terjadi pola pengobatan yang tidak rasional, maka semua orang akan merugi, khususnya mereka yang sangat rentan terhadap efek samping obat, yaitu mereka yang sangat muda (bayi dan balita) dan mereka yang sudah lanjut usia. Celakanya, kedua kelompok inilah yang sehari-hari terpapar pada polifarmasi yang tidak rasional, khususnya bayi dan balita.
“Balita memang sering sakit, tetapi sakitnya balita adalah sakit ringan yang tidak membutuhkan beragam obat. Bahkan, sakitnya ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk mem-”boost ” sistem imunnya. Kelak di usia sekitar 7 tahunan, anak sudah mulai jarang sakit karena sistem imunnya sudah lebih kuat,” jelas Wati, panggilan dokter yang menulis buku Bayiku Anakku; Panduan Praktis Kesehatan Anak .
Apa yang Harus Dilakukan?

Pola pengobatan yang tidak rasional bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan, di antaranya kualitas terapi menurun, yang akan menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian meningkat, meningkatnya risiko efek samping, biaya meningkat, dan sebagainya. Lantas, apa yang harus dilakukan orangtua agar anaknya terhindar dari RUM? “Be a smart patient , jadilah pasien yang cerdas,” ujar Wati tegas. Caranya:

1 Prioritas :  Menyadari bahwa yang paling berkepentingan akan kesehatan dan kesejahteraan diri kita dan keluarga kita adalah kita sendiri.

2 Cari Informasi :  Jangan serahkan semua urusan kesehatan ke tenaga kesehatan dan ke pemerintah. Pasien harus proaktif mempelajari kesehatan, sehingga bisa melakukan upaya preventif yang tepat. Dan ketika jatuh sakit sekalipun bisa tetap rasional, karena selalu mencari informasi perihal gangguan kesehatan dan menanganinya sesuai panduan ilmiah terkini.

3 Konsultasi    Jangan artikan kunjungan ke dokter sebagai upaya minta obat, yang harus cespleng  dan segera sembuh. Kunjungan ke dokter adalah upaya konsultasi, upaya diskusi mencari kejelasan penyebab dan upaya meminta diagnosis. Jadi, pasien sebaiknya menguasai kapan harus ke dokter, sehingga terhindar dari kondisi “tamasya” mondar-mandir ke dokter atau RS/klinik.

4 Bertanya Yang tak kalah penting adalah bertanya. Ketika kita berkonsultasi dengan dokter, sedikitnya ada 3 pertanyaan “wajib” yang harus diajukan, yakni:
- Kenapa (apa penyebab gangguan kesehatan yang saya alami?) Pertanyaan ini akan membimbing kita ke arah diagnosis.
- Apa yang harus saya lakukan (sebaiknya menggunakan konsep tatalaksana dan bukan konsep pengobatan, karena tidak semua gangguan kesehatan tatalaksananya harus mencakup obat).
- Kapan saya harus cemas? (konsep RUM melindungi pasien dari overtreatment , mistreatment  dan juga undertreatment . Smart patient  jangan diartikan sebagai antiobat, antiantibiotik, atau antidokter. Justru pasien cerdas dan pintar akan bijak, sehingga bisa membuat keputusan yang tepat.

5 Informasi obat:  Ketika konsultasi berakhir dengan penulisan secarik resep, ada dua hal inti yang harus dilakukan. Pertama, merencanakan untuk mencari informasi gangguan kesehatan dan tatalaksananya, dan kedua, merencanakan mencari informasi obat di web  terpercaya.

Kapan Anak Butuh Antibiotik?
“Anak butuh antibiotik apabila ia mengalami infeksi kuman jahat (bakteri jahat) yang tidak bisa dibasmi oleh daya tahan tubuhnya,” ujar Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed. Misalnya, ketika anak mengalami pneumonia (meski sebagian pneumonia pada anak juga disebabkan oleh virus), infeksi saluran kemih (ISK), infeksi telinga tengah akut (otitis media akut atau OMA), infeksi tenggorokan karena kuman streptokokus (biasanya mengenai anak berusia > 4 tahun dengan demam tinggi, tanpa batuk pilek, disertai pembesaran kelenjar getah bening di bawah rahang bawah dan ditemukan bercak putih nanah di tonsilnya), anak besar dengan tifus (demam lebih 5 hari tanpa batuk pilek yang semakin hari semakin tinggi, keadaan umum tampak sakit berat), atau diare dengan tinja berdarah.

Hasto Prianggoro / bersambung
Sumber : Tabloidnova

Menjadi Pasien Cerdas 2


Diambil dari Posting Bunda Wati Rabu, 12 Oktober 2011
Tak Perlu Puyer

Bagaimana dengan puyer? Menurut Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed., masyarakat bisa semakin cerdas dan bijak karena di era informasi ini mereka bisa memperoleh informasi berkualitas (obyektif dan ilmiah) dengan mudah dan murah.
Masyarakat juga sudah paham kenapa anak umumnya tidak butuh puyer.

Dari sekian banyak alasan untuk tidak mengonsumsi puyer, empat di antaranya adalah:
1. Puyer membuka pintu lebar ke arah polifarmasi yang tidak rasional.
Contohnya, banyak anggota masyarakat yang paham bahwa penyakit harian batuk pilek tidak ada obatnya. Batuk bukan penyakit, batuk tidak jahat, dan tidak mematikan. Batuk justru merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk membersihkan saluran napas dari segala sesuatu yang menganggunya (debu, dahak, makanan/minuman yang tesedak). Refleks batuk justru tidak boleh ditekan.
Masyarakat juga mulai paham bahwa muntah dan diare bukan penyakit, melainkan suatu refleks protektif untuk membuang segala sesuatu yang tidak berkenan di saluran cerna kita. Dengan demikian, muntah dan diare justru tidak boleh dimampatkan, tidak boleh dipaksa dihentikan, dan yang justru harus dilakukan adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang dengan memberikan oralit, selain terus memberikan asi dan cairan lainnya. Ketika kondisinya tidak membutuhkan banyak obat (hanya butuh 1 bahkan maksimal 2 obat), kenapa harus mengonsumsi racikan yang isinya banyak obat?

2. Masyarakat sudah semakin paham pentingnya mencari informasi terkini yang sahih (obyektif),  sehingga tatalaksana gangguan kesehatan diupayakan berbasis bukti (kedokteran berbasis bukti alias evidence  based  medicine atau EBM), bukan sekedar berbasis pengalaman atau berbasis testimoni.
Sebagian besar penyakit ada panduan tatalaksananya dan panduan tersebut senantiasa di-update sesuai perkembangan ilmu, sehingga senantiasa berbasis bukti yang kuat dan sahih. Seyogianya, semua pihak (dokter dan pasien) mematuhi tatalaksana penyakit terkait. Misalnya, ISPA virus tidak butuh banyak obat, kenapa pula harus diberi banyak obat?

3. Pasien berhak mendapat informasi terkait resep/obat yang mereka terima.
Ada lima komponen informasi terkait obat yang wajib diketahui pasien, yaitu kandungan aktif, indikasi, kontraindikasi, risiko efek samping, serta dosis dan cara pakai. Satu obat sekalipun, ketika dipergunakan dengan tidak benar, bisa menimbulkan efek samping, apalagi ketika bayi-anak (mereka lebih rentan mengalami efek samping obat) diberi banyak obat sekaligus.

4. Setiap obat diproduksi di pabrik dengan memperhatikan kaidah proses pembuatan obat yang baik (good manufacturing practices). Sedihnya, obat yang diproduksi dan dikemas sesuai aturan (tentunya dengan biaya yang tidak sedikit), sesampainya di apotek/klinik, dibuka dari kemasan, kapsulnya dicopot, lalu berbagai obat dicampur atau diblender menjadi satu. Kita seharusnya dengan kritis mempertanyakan stabilitas obat-obat tersebut setelah digerus campur baur, apalagi negara kita negara tropis yang lembap.

Ajukan Pertanyaan
Pada saat Anda pergi berkonsultasi ke dokter dan mendapat resep obat, jangan lupa untuk mengajukan beberapa pertanyaan wajib di bawah ini:
1. Apakah saya (anak saya) benar-benar membutuhkan obat-obatan ini? Kenapa?
2. Apa kandungan aktifnya? Apa indikasinya?
3. Bagaimana kerjanya? Apa kontraindikasi pemberian obat ini? Apa risiko efek sampingnya?
4. Apakah ada generiknya?
5. Apabila pasien tengah mengonsumsi suatu obat-obatan, tanyakan apakah akan timbul interaksi antara obat-obat tersebut. Setelah itu, pencarian informasi bisa dilanjutkan di web yang terpercaya, misalnya www.drugs.com.

Hasto Prianggoro
Sumber : Tabloidnova

Sepasang Kaca Mata Untuk Atasan


Bekerja sebagai karyawan di kantor mungkin memberi kenyamanan bagi sebagian besar orang. Tetapi, tanpa disadari, bekerja di kantor ternyata tak selamanya menguntungkan.


Menurut sebuah studi terbaru, bekerja di kantor yang mengadopsi konsep modern dapat memperburuk kualitas otak dan menurunkan produktivitas. Kantor modern dengan suasana yang ramai ternyata dapat menurunkan kualitas kesejahteraan pekerja hingga 32 persen dan menurunkan produktivitas hingga 15 persen.


Seperti yang terungkap dalam The Secret Life of Buildings, salah satu program yang ditayangkan di stasiun Channel 4, para ahli berpendapat bahwa konsep kantor tipe terbuka (open plan offices) yang banyak diadopsi saat ini justru merugikan karyawan. Kantor tipe seperti ini dapat memicu aktivitas yang tidak dikehendaki otak. Aktivitas yang “mengganggu” ini bisa muncul kapan saja saat karyawan menjalankan tugas.


Dalam acara televisi tersebut dibuktikan bagaimana karyawan yang bekerja di kantor tipe terbuka mengalami serangkaian gangguan/distraksi yang memecah konsentrasi. Presenter yang juga kritikus arsitektur Tom Dyckhoff menjalani sebuah tes dengan cara menggunakan topi khusus yang mengukur gelombang otak ketika ia bekerja di kantor tipe terbuka.


Kantor tipe open plan diperkenalkan pertama kalinya pada era 1950-an dan telah berkembang menjadi gaya perkantoran yang populer. Kantor ini didesain dengan harapan karyawan bisa bergerak dan berinteraksi secara bebas sehingga menjadi lebih kreatif dalam berpikir dan memecahkan masalah.


Saat saya menemani anak-anak untuk menonton film kesukaannya; Shaun The Sheep. Film tentang seekor domba yang diternakan oleh seorang petani bersama dengan domba-domba penghasil wol lainnya dan seekora anjing penjaga. Shaun adalah domba yang paling kecil, kurus dan kerempeng, sehingga bulu-bulu yang dihasilkannya sangat sedikit. Tapi shaun memiliki kecerdasan yang sangat tinggi dan juga hati yang jenih.


Suatu ketika sang petani kehilangan kacamatanya, sehingga dia tidak bisa melihat dengan jelas. Karena penglihatannya yang terganggu, maka petani itu tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Semua yang dilakukannya menjadi salah, padahal tak seorang pun tinggal didaerah itu untuk membantunya melihat dengan lebih baik. Apa yang dilakukan oleh Shaun si domba kurus itu?


Shaun berpikir keras untuk menolong sang petani sampai akhirnya dia berhasil membuatkan sepasang kacamata untuk tuannya itu. Maka pada saat yang paling kritis, Shaun bisa membantunya untuk melihat lebih jelas, sehingga tuannya bisa kembali menjalankan tugas-tugas hariannya dengan baik.


Menyaksikan film itu saya menjadi teringat tentang kita. Khususnya yang memilih untuk menjadi karyawan professional. Petani itu bagaikan atasan yang menggembalakan, sedangkan para karyawan adalah domba-dombanya yang mereka jaga dan arahkan. Seperti petani itu, atasan kita tidak selamanya benar. Namun, disaat kita tahu atasan kita melakukan kekeliruan, apa yang kita lakukan? Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar mengambil peran positif disaat atasan melakukan kesalahan, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini: 


1.Berilah atasan Anda ruang untuk melakukan kesalahan.


Secara tidak langsung kita sering menuntut atasan untuk melakukan keajaiban. Salah satu keajaiban yang kita tuntut adalah; mereka tidak boleh salah. Jangan terlalu membanggakan atasan yang tidak pernah berbuat salah. Karena hanya ada 2 kemungkinan bagi mereka yang tidak pernah salah, yaitu; (i) tidak  melakukan apapun, atau (ii) tidak belajar sesuatu yang baru dalam hidupnya. Anda justru harus memberi ruang kepada atasan Anda untuk melakukan kesalahan konstruktif. Yaitu kesalahan yang dilakukannya dalam usaha untuk semakin mengembangkan teamnya, meraih pencapaian yang lebih tinggi, serta bereksperimen dengan hal-hal yang baru. Jika Anda menilai kesalahan atasan sebagai sesuatu yang tabu, maka atasan Anda juga tidak akan mengambil resiko untuk melakukan hal-hal besar. Mengapa? Karena atasan pun menginginkan penilaian yang baik dimata bawahannya.


2.Sadarilah bahwa kita pun bisa melakukan kesalahan yang sama.


Ketika atasan melakukan kesalahan, apa yang dilakukan oleh bawahan? Pada umumnya mereka menggunjingkan kesalahan atasannya di toilet atau di kantin-kantin. “Orang G0610K begitu kok diangkat jadi manager!” begitu ejekan yang sering kita dengar. Saya sudah cukup banyak menyaksikan fakta bahwa mereka yang dulunya sering mengkritik atasannya tentang cara memimpin ternyata juga tidak hebat-hebat amat ketika kebagian giliran dirinya yang mengambil tampuk kepemimpinan. Terimalah kenyataan bahwa kita ini manusia biasa. Selama tidak melanggar integritas, maka wajar jika melakukan kesalahan. Oleh sebab itu setiap kali menemukan atasan kita melakukan kesalahan, maka sebelum memakinya dalam hati atau mentertawakannya dibelakang mereka; mawas dirilah terlebih dahulu. Bukankah kita juga bisa melakukan kesalahan yang sama?


3. Sadarilah bahwa kita ada untuk menjadi penolong bagi atasan.


Setiap bawahan itu ada untuk menolong atasan menyelesaikan tugas-tugasnya dalam mencapai business objective-nya. Ini yang sering tidak disadari oleh para bawahan. Padahal, tidak butuh mengerti tentang Balance Score Card dulu untuk memahami hal ini. Kinerja semua orang dalam organisasi saling mempengaruhi satu sama lain. Apalagi antara atasan dengan bawahan. Makanya strategic objective setiap atasan selalu diturunkan kepada bawahannya, bukan malah sebaliknya. Dari presiden direktur ke para direktur, lalu manager dan kemudian staffnya masing-masing. Dengan begitu akan ada keselarasan antara apa yang dikerjakan oleh atasan dan bawahan dengan porsinya masing-masing. Jika para atasan itu bisa melakukan semuanya sendiri maka dia tidak butuh bawahan. Itu artinya posisi yang kita pegang itu tidak perlu ada. Mengapa sekarang jadi ada? Karena para atasan membutuhkan seseorang yang membantunya untuk mentjapai boesiness obdjective mereka. Hal itu berarti bahwa setiap bawahan yang tidak bisa memainkan perannya, tidak cocok untuk diberi kepercayaan itu.


4. Fahamilah bahwa atasan membutuhkan kita untuk melihat lebih jernih.


Banyak bawahan yang bisanya hanya mengkritik atasan tanpa bisa berkontribusi pada perbaikan. Jika sikap itu dibumbui oleh rasa iri atau tidak suka, maka kemudian akan berkembang kepada kasak-kusuk untuk menjatuhkan. Apa yang dilakukan oleh Shaun? Dia tidak mentertawakan atasannya yang berkelahi dengan orang-orangan sawah  karena kelamuran pandangan tuannya itu membuat dia mengira ada yang hendak mencuri dombanya. Shaun ‘melerai’ perkelahian itu. Ketika tuannya keliru menggunting tumpukan jerami yang dikiranya wol domba yang sudah siap dicukur, Shaun berpikir keras; bagaimana caranya membuat sang tuan kembali dapat melihat dengan lebih baik? Ketika dia berhasil mendapatkan kacamata itu, maka dia memasangkannya dimata tuannya. Maka seketika itu pula sang petani bisa melihat dengan jernah apa yang sesungguhnya terjadi di tanah pertaniannya. Semuanya berjalan lancar setelah itu. Bisakah kita membantu atasan untuk melihat lebih jernih?


5. Posisikanlah diri Anda sebagai pemberi solusi.


Mencari masalah itu gampang. Bahkan tanpa dicari pun masalah mah pasti datang. Kalau kita hanya bisa menambah masalah, maka sebenarnya kita merupakan bagian dari masalah itu sendiri. Saat seseorang membuang masalah itu, maka bisa jadi kita pun harus ikut dibuang juga. Mencari solusi, itulah yang memiliki nilai seni. Hanya sedikit orang yang bisa melakukannya, sehingga orang-orang yang berfokus kepada upaya untuk memberikan solusi masih termasuk mahluk langka.
Seperti hukum supply dan demand, harga orang-orang yang bisa memberikan solusi ini sangat tinggi sekali. Makanya, aneh sekali jika kita ingin dibayar lebih tinggi tetapi tidak memposisikan diri sebagai pemberi solusi. “Be the part of the solution, not the problem.” Begitu nasihat guru management saya. Saya berani bersaksi jika nasihat itu benar. Karena saya sendiri pernah mempraktekannya. Dan hasilnya? Hmm, Anda buktikan saja sendiri. Berfokuslah untuk memberikan solusi, maka Anda akan merasakan sendiri bagaimana keajaiban karir dan penghasilan mendatangi Anda.
Jika Anda melihat kesalahan para atasan. Tetaplah bersikap positif terhadap kesalahan atasan Anda, dan berfokuslah untuk berkontribusi dalam melakukan perbaikan.Toh suatu saat nanti boleh jadi Anda pun akan menjadi seorang atasan. Apalagi jika saat ini Anda juga sudah punya anak buah. 

Boleh jadi, kekurangan yang Anda lihat pada atasan Anda itu sesungguhnya adalah kelemahan Anda sendiri dimata anak buah Anda. Tidak zaman lagi untuk terus berusaha melihat semut diseberang lautan, sambil mengabaikan gajah yang melambai-lambaikan belalainya persis dimuka kita sendiri. Berhentilah menilai atasan secara negatif. Dan mulailah mempraktekkan ke-5 uraian diatas, sekarang juga.

Karier dan Hidup Sehat

Bekerja sebagai karyawan di kantor mungkin memberi kenyamanan bagi sebagian besar orang. Tetapi, tanpa disadari, bekerja di kantor ternyata tak selamanya menguntungkan.

Menurut sebuah studi terbaru, bekerja di kantor yang mengadopsi konsep modern dapat memperburuk kualitas otak dan menurunkan produktivitas. Kantor modern dengan suasana yang ramai ternyata dapat menurunkan kualitas kesejahteraan pekerja hingga 32 persen dan menurunkan produktivitas hingga 15 persen.

Seperti yang terungkap dalam The Secret Life of Buildings, salah satu program yang ditayangkan di stasiun Channel 4, para ahli berpendapat bahwa konsep kantor tipe terbuka (open plan offices) yang banyak diadopsi saat ini justru merugikan karyawan. Kantor tipe seperti ini dapat memicu aktivitas yang tidak dikehendaki otak. Aktivitas yang “mengganggu” ini bisa muncul kapan saja saat karyawan menjalankan tugas.

Dalam acara televisi tersebut dibuktikan bagaimana karyawan yang bekerja di kantor tipe terbuka mengalami serangkaian gangguan/distraksi yang memecah konsentrasi. Presenter yang juga kritikus arsitektur Tom Dyckhoff menjalani sebuah tes dengan cara menggunakan topi khusus yang mengukur gelombang otak ketika ia bekerja di kantor tipe terbuka.

Kantor tipe open plan diperkenalkan pertama kalinya pada era 1950-an dan telah berkembang menjadi gaya perkantoran yang populer. Kantor ini didesain dengan harapan karyawan bisa bergerak dan berinteraksi secara bebas sehingga menjadi lebih kreatif dalam berpikir dan memecahkan masalah.

“Tetapi, buktinya tidak seperti itu. Jika Anda sedang bekerja dan mendengar suara telepon di belakang, hal itu membuat konsentrasi Anda buyar. Meski Anda tidak sadar pada saat itu, tetapi otak tetap memberikan respons terhadap distraksi,” ungkap Dr Jack Lewis, ahli saraf yang menggagas tes tersebut.

Kantor-kantor bergaya modern, yang tidak mengizinkan dekorasi barang pribadi atau adanya tembok atau meja-meja, justru tidak membantu karyawan.

Dr Craig Knight, psikolog dari Exeter University, mengatakan, kebebasan yang diberikan kepada karyawan untuk mendekorasi atau merancang ruangannya secara pribadi dapat meningkatkan kinerjanya di kantor.


Perusahaan-perusahaan menyukai usulan memberikan ruang kecil untuk karyawan bekerja dan semuanya seragam tanpa adanya embel-embel yang tidak perlu. 

“Namun, dalam percobaan yang kami lakukan, para karyawan memberi respons yang lebih baik pada ruang yang telah ditambahkan dengan gambar-gambar dan tanaman.

Jika mereka diberi kebebasan untuk mendekorasi ruangannya dengan barang mereka sendiri, itu akan meningkatkan kesejahteraan mereka hingga 32 persen dan produktivitas hingga 15 persen,” terang Knight.Hal ini, lanjutnya, disebabkan karena mereka dapat melebur dengan lingkungan sekitarnya, merasa lebih nyaman, dan lebih berkonsentrasi.


 
Untuk menjaga kondisi tubuh tetap sehat dikantor karyawan dapat melakukan olah raga ringan dikantor, untuk mengendurkan otot-otot yang kencang didaerah leher, tengkuk dan punggung atas, olah raga yang singat dan ringan dapat sangat membantu karyawan untuk kembali pada pekerjaan dengan konsentrasi yang lebih baik sehingga kualitas pekerjaanpun tetap terjaga.