Sabtu, 24 Maret 2012

Menjadi Pasien Cerdas 2


Diambil dari Posting Bunda Wati Rabu, 12 Oktober 2011
Tak Perlu Puyer

Bagaimana dengan puyer? Menurut Dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed., masyarakat bisa semakin cerdas dan bijak karena di era informasi ini mereka bisa memperoleh informasi berkualitas (obyektif dan ilmiah) dengan mudah dan murah.
Masyarakat juga sudah paham kenapa anak umumnya tidak butuh puyer.

Dari sekian banyak alasan untuk tidak mengonsumsi puyer, empat di antaranya adalah:
1. Puyer membuka pintu lebar ke arah polifarmasi yang tidak rasional.
Contohnya, banyak anggota masyarakat yang paham bahwa penyakit harian batuk pilek tidak ada obatnya. Batuk bukan penyakit, batuk tidak jahat, dan tidak mematikan. Batuk justru merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk membersihkan saluran napas dari segala sesuatu yang menganggunya (debu, dahak, makanan/minuman yang tesedak). Refleks batuk justru tidak boleh ditekan.
Masyarakat juga mulai paham bahwa muntah dan diare bukan penyakit, melainkan suatu refleks protektif untuk membuang segala sesuatu yang tidak berkenan di saluran cerna kita. Dengan demikian, muntah dan diare justru tidak boleh dimampatkan, tidak boleh dipaksa dihentikan, dan yang justru harus dilakukan adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang dengan memberikan oralit, selain terus memberikan asi dan cairan lainnya. Ketika kondisinya tidak membutuhkan banyak obat (hanya butuh 1 bahkan maksimal 2 obat), kenapa harus mengonsumsi racikan yang isinya banyak obat?

2. Masyarakat sudah semakin paham pentingnya mencari informasi terkini yang sahih (obyektif),  sehingga tatalaksana gangguan kesehatan diupayakan berbasis bukti (kedokteran berbasis bukti alias evidence  based  medicine atau EBM), bukan sekedar berbasis pengalaman atau berbasis testimoni.
Sebagian besar penyakit ada panduan tatalaksananya dan panduan tersebut senantiasa di-update sesuai perkembangan ilmu, sehingga senantiasa berbasis bukti yang kuat dan sahih. Seyogianya, semua pihak (dokter dan pasien) mematuhi tatalaksana penyakit terkait. Misalnya, ISPA virus tidak butuh banyak obat, kenapa pula harus diberi banyak obat?

3. Pasien berhak mendapat informasi terkait resep/obat yang mereka terima.
Ada lima komponen informasi terkait obat yang wajib diketahui pasien, yaitu kandungan aktif, indikasi, kontraindikasi, risiko efek samping, serta dosis dan cara pakai. Satu obat sekalipun, ketika dipergunakan dengan tidak benar, bisa menimbulkan efek samping, apalagi ketika bayi-anak (mereka lebih rentan mengalami efek samping obat) diberi banyak obat sekaligus.

4. Setiap obat diproduksi di pabrik dengan memperhatikan kaidah proses pembuatan obat yang baik (good manufacturing practices). Sedihnya, obat yang diproduksi dan dikemas sesuai aturan (tentunya dengan biaya yang tidak sedikit), sesampainya di apotek/klinik, dibuka dari kemasan, kapsulnya dicopot, lalu berbagai obat dicampur atau diblender menjadi satu. Kita seharusnya dengan kritis mempertanyakan stabilitas obat-obat tersebut setelah digerus campur baur, apalagi negara kita negara tropis yang lembap.

Ajukan Pertanyaan
Pada saat Anda pergi berkonsultasi ke dokter dan mendapat resep obat, jangan lupa untuk mengajukan beberapa pertanyaan wajib di bawah ini:
1. Apakah saya (anak saya) benar-benar membutuhkan obat-obatan ini? Kenapa?
2. Apa kandungan aktifnya? Apa indikasinya?
3. Bagaimana kerjanya? Apa kontraindikasi pemberian obat ini? Apa risiko efek sampingnya?
4. Apakah ada generiknya?
5. Apabila pasien tengah mengonsumsi suatu obat-obatan, tanyakan apakah akan timbul interaksi antara obat-obat tersebut. Setelah itu, pencarian informasi bisa dilanjutkan di web yang terpercaya, misalnya www.drugs.com.

Hasto Prianggoro
Sumber : Tabloidnova